Applied Multivariate Statistical Analysis Fourth Ed.
https://drive.google.com/open?id=1dF6qadxiX5mMwO_tBSOV6YQCQIXvKPs-
An Introduction to The History of Mathematics
https://drive.google.com/open?id=1TlX-0roYBg3e8J9luEBBQrSI8_FPFwis
Introduction to Real Analysis
https://drive.google.com/open?id=1qsBJWpHX7mJJY54RC2KEmyFm8j03q9dy
Search This Blog
Thursday, August 22, 2019
MATEMATIKA HINDU ARAB
A.
Matematika Hindu
Setelah Asoka, India mengalami
serangkaian invasi, yang akhirnya diikuti oleh dinasti Gupta dari kaisar India
asli. Periode Gupta terbukti sebagai zaman keemasan kebangkitan Sansekerta, dan
India menjadi pusat pembelajaran, seni, dan kedokteran. Kota-kota kaya tumbuh
dan universitas mulai ditemukan. Karya astronomi penting pertama, Surya
Siddhanta ("pengetahuan tentang matahari"), muncul sekitar awal abad
kelima. Matematika Hindu mulai tunduk pada astronomi daripada agama. Karya abad
keenam Panca Siddhantika, astronom Varahamihira dari Ujjain dan berdasarkan
pada Surya Siddhanta sebelumnya, berisi ringkasan mengenai trigonometri Hindu
awal dan sebuah tabel sinus yang berasal dari tabel chords Ptolemy.
Sekitar tahun 450 M hingga mendekati
akhir tahun 1400-an, India kembali menjadi sasaran banyak invasi asing.
Pertama-tama datang orang Hun, kemudian orang Arab di abad ke delapan, dan
orang Persia di abad kesebelas. Selama periode ini, di sana ada beberapa ahli
matematika Hindu yang menonjol, diantaranya Aryabhatas dan Brahmagupta,
Mahavira, dan Bhaskara. Penatua Aryabhata berkembang pada abad keenam dan
dilahirkan di dekat Patna di Sungai Gangga. Dia menulis sebuah karya tentang
astronomi berjudul Aryabhatiya, bab ketiganya dikhususkan untuk matematika. Ada
beberapa kebingungan antara kedua Aryabhatas, dan mungkin pekerjaan mereka
tidak dibedakan dengan benar. Brahmagupta adalah ahli matematika Hindu paling
menonjol dari abad ketujuh. Dia tinggal dan bekerja di pusat astronomi Ujjain,
di India tengah. Pada tahun 628, Ia menulis Brahma-sphuta-sidd'hanta
("sistem revisi Brahma"), sebuah karya tentang astronomi berisi 21
bab, di mana bab 12 dan 18 membahas matematika. Mahavira, yang muncul sekitar tahun
850, berasal dari Mysore di India selatan dan menulis tentang matematika dasar.
Bhaskara tinggal di kota Ujjain di Varahamihira dan Brahmagupta. Karyanya,
Siddhanta Siro-mani (“diadem of an astronomical system”), ditulis pada
tahun 1150 dan menunjukkan sedikit kemajuan atas karya Brahmagupta yang ada
lebih dari 500 tahun sebelumnya. Bagian matematika yang penting dari karya
Bhaskara adalah Lilavati ("yang indah") dan Vijaganita ("seed
arithmetic"), yang masing-masing membahas tentang aritmatika dan aljabar.
Bagian matematika dari karya Brahmagupta dan Bhaskara diterjemahkan ke dalam
bahasa Inggris pada tahun 1817 oleh H. T. Colebrooke. Surya Siddhanta
diterjemahkan oleh E. Burgess pada tahun 1860, dan karya Mahavira diterbitkan
pada tahun 1912 oleh M. Rangacarya.
Setelah Bhaskara matematika Hindu
hanya membuat kemajuan kecil hingga zaman modern. Pada tahun 1907, Perhimpunan
Matematika India didirikan, dan dua tahun kemudian Jurnal Perhimpunan
Matematika India dimulai di Madras. Jurnal statistik India, Sankhya, mulai
diterbitkan pada tahun 1933.
Mungkin ahli matematika India yang paling spektakuler di zaman modern
adalah pegawai miskin dan jenius yang tidak terlatih, Srinivasa Ramanujan
(1887-1920), yang memiliki kemampuan luar biasa untuk melihat dengan cepat dan
mendalam ke dalam hubungan bilangan yang rumit. Dia "ditemukan" pada
tahun 1913 oleh ahli teori angka Inggris terkemuka, G. H. Hardy (1877-1947),
yang usahanya membawa Ramanujan pada tahun berikutnya ke Inggris untuk belajar
di Universitas Cambridge. Asosiasi
matematika yang paling luar biasa dihasilkan antara kedua pria ini.
Publikasi pada tahun 1920-an dari
notebook Ramanujan, dan pekerjaan selanjutnya yang dilakukan oleh mereka, telah
mengungkapkan banyak sisi kejeniusan pria itu yang tidak biasa.
Teks-teks tentang sejarah matematika
Hindu menunjukkan beberapa kontradiksi dan kebingungan. Hal ini mungkin
disebabkan karena ukurannya yang tidak kecil, pengaburan, dan terkadang
penulisan yang hampir tidak dapat dipahami dari para penulis Hindu. Sejarah
matematika Hindu masih menunggu bukti yang lebih dapat diandalkan dan ilmiah.
1.
Komputasi Bilangan
Kunci untuk pemahaman tentang algoritma yang diuraikan terletak
pada realisasi bahan tulisan yang ada di kalkulator. Menurut sejarawan Jerman
H. Hankel, mereka umumnya menulis di atas papan tulis kecil dengan pena tongkat
yang dicelupkan ke dalam cat putih tipis yang dapat dengan mudah terhapus atau
dengan tongkat pada tablet putih kurang dari satu meter persegi dan dilapisi
dengan taburan tepung merah. Dalam kedua kasus tersebut, ruang penulisan yang
kecil dan keterbacaan menuntut angka yang cukup besar, tetapi penghapusan dan
koreksi sangat mudah dilakukan. Oleh karena itu, proses perhitungan
direncanakan untuk menghemat ruang penulisan dengan menghapus angka segera
setelah memenuhi tujuannya.
Penjumlahan Hindu awal mungkin dilakukan dari kiri ke kanan, bukan
dari kanan ke kiri, seperti yang kita inginkan hari ini. Sebagai contoh,
perhatikan penambahan 345 dan 488.
8 3
3 4 5
4
8 8
Menurut Bhaskara's Lilavati, ada
metode lain dimana 345 dan 488 akan ditambahkan sebagai berikut :
Jumlah dari satuan 5 + 8 =
13
Jumlah dari puluhan 4 + 8 = 12*
Jumlah dari ratusan 3 + 4 = 7**
Jumlah dari penjumlahan
= 833
Beberapa metode digunakan untuk perkalian.
Karya tertulis untuk perkalian sederhana, misalkan, 569 kali 5 mungkin muncul
sebagai berikut, dikerjakan dari kiri ke kanan. Di
tablet, sedikit di bawah bagian atas, tulis 569
diikuti, pada baris yang sama, oleh pengali 5. Kemudian, karena 5 x 5 = 25, 25 ditulis di
atas 569, sebagaimana ditunjukkan dalam ilustrasi yang menyertainya.
Selanjutnya, 5 x 6 = 30, yang mengubah 5 di 25 menjadi 8 yang diikuti oleh 0.
Kemudian 5 x 9 = 45, yang mengubah 0 ke 4 diikuti oleh 5. Produk akhir, 2845, sekarang muncul di bagian atas tablet
komputasi.
8 4
2 5 0 5
5 6
9 5
Perkalian yang lebih rumit, seperti 135 x 12, dapat diselesaikan
dengan penemuan pertama, seperti di atas, 135 x 4 = 540, kemudian 540 x 3 = 1620,
atau dengan menambahkan 135 x 10 = 1350 dan
135 x 2 = 270 untuk mendapatkan 1620.
Menurut Hankel, itu juga dapat dicapai sebagai berikut. Sedikit
di bawah bagian atas tablet, tulis 135 (multiplikasi) dan 12 (pengali). Sekarang
135 x 1 = 135, yang tertulis di bagian atas tablet. Selanjutnya, dengan
menghapus, menggeser multiplikasi 135 satu tempat
ke kanan, dan kalikan dengan 2 dari 12. Dalam melakukan ini, 2 x 1 =
2, mengubah 3 di produk parsial menjadi 5. Kemudian 2 x 3 = 6, yang mengubah dua 5s dalam
produk parsial baru menjadi 61. Akhirnya, 2 x 5
= 10, yang mengubah 1 akhir dalam produk parsial menjadi 2 diikuti oleh 0.
Produk jadi, 1620, sekarang muncul di bagian atas tablet .
6 2
1 3 5 0
1
2
1 3 5
Metode perkalian lain, yang diketahui oleh
orang Arab dan mungkin diperoleh dari orang Hindu yang sangat mirip dengan
proses yang sekarang ditunjukkan dalam ilustrasi yang menyertai (135 dikali
12). Diagram kisi sebenarnya digambar, dan penambahannya dilakukan secara
diagonal. Catatan, karena cara masing-masing
sel dibagi dua oleh diagonal, tidak perlu membawa dalam
perkalian.
Multiplikasi
Produk
Orang-orang Arab, yang kemudian meminjam
beberapa proses Hindu, tidak dapat memperbaiki dan menyesuaikannya dengan
pekerjaan "kertas", di mana penghapusan tidak mudah dilakukan, dengan
mencoret digit yang tidak diinginkan dan menulis yang baru di atas atau di
bawah yang lama, seperti yang telah dilakukan dalam ilustrasi di atas.
Pengembangan algoritma untuk operasi
aritmatika dasar dimulai di India, mungkin sekitar abad kesepuluh atau
kesebelas, diadopsi oleh orang-orang Arab, dan kemudian dibawa ke Eropa Barat,
di mana mereka diubah ke dalam bentuk saat ini. Karya
ini mendapat perhatian besar dari para penulis Eropa abad ke-15 tentang
aritmatika.
2. Aritmatika dan Aljabar
Orang-orang Hindu adalah ahli aritmatika berbakat dan memberikan
kontribusi signifikan pada aljabar.
Banyak masalah aritmatika diselesaikan dengan posisi yang salah.
Metode solusi favorit lainnya adalah inversi, di mana seseorang bekerja mundur
dari informasi yang diberikan. Pertimbangkan, misalnya, masalah berikut ini,
yang muncul dalam Bhaskara's Lilavati : “Gadis cantik
dengan mata berseri-seri, katakan padaku, ketika kamu memahami metode inversi
yang benar, yaitu bilangan yang dikalikan 3, kemudian meningkat
sebesar 3/4 dari produk , kemudian dibagi dengan 7,
dikurangi dengan 1/3 dari hasil bagi, dikalikan dengan dirinya sendiri, dikurangi
dengan 52, dengan ekstraksi dari akar kuadrat, ditambah 8,
dan dibagi dengan 10 memberikan angka 2?” Metode
inversi dimulai dengan angka 2 dan bekerja mundur. Jadi, [(2)(10) - 8]2 +
52 =
196,
= 14, (14)
(7)
/3 = 28. Ini
adalah penggantian dari setiap operasi dengan kebalikannya yang memperhitungkan
inversi nama. Tentu saja, itulah yang akan dilakukan
jika ingin
menyelesaikan masalah dengan metode modern. Jadi, jika diberikan x
mewakili angka yang dicari, maka
Untuk menyelesaikan ini, kalikan kedua sisi
dengan 10, lalu kurangi 8 dari setiap sisi, lalu kuadratkan kedua sisi, dan
sebagainya. Masalah ini juga menggambarkan
praktik Hindu tentang masalah aritmatika pakaian dalam pakaian puitis. Ini
karena teks sekolah ditulis dalam ayat dan karena masalah sering digunakan
untuk hiburan sosial.
Orang-orang Hindu merangkum kemajuan aritmatika dan geometri dan
memecahkan masalah-masalah komersial dalam bunga sederhana dan majemuk, diskon, dan kemitraan. Mereka juga
memecahkan masalah campuran dan masalah tangki, mirip dengan
yang ditemukan dalam teks modern. Sebagian besar
pengetahuan tentang aritmatika Hindu berasal dari Bhaskara's Lilavati. Sebuah kisah romantis diceritakan tentang karya ini. Menurut
kisah itu, bintang-bintang itu meramalkan kesialan yang
mengerikan jika putri tunggal Bhaskara, Lilavati, harus menikah selain pada jam
tertentu pada hari yang menguntungkan. Pada hari itu, ketika pengantin
perempuan yang cemas sedang mengamati permukaan air yang
tenggelam dari cangkir jam, sebuah mutiara jatuh tanpa sadar dari tutup
kepalanya dan, menghentikan lubang di cangkir, menangkap aliran air, dan saat
keberuntungan berlalu tanpa disadari. Untuk
menghibur gadis yang tidak bahagia itu, Bhaskara memberikan namanya ke bukunya.
Orang-orang Hindu menyinkronkan aljabar mereka. Seperti Diophantus,
penambahan biasanya ditunjukkan dengan penjajaran. Pengurangan ditunjukkan
dengan menempatkan titik di atas pengurang, perkalian
dengan menulis bha (suku kata pertama dari kata bhavita,
"produk") setelah faktor-faktor, pembagian dengan menulis pembagi di
bawah dividen, dan akar kuadrat dengan menulis ka (dari kata karana,
"irasional") sebelum kuantitas. Brahmagupta menunjukkan hal yang
tidak diketahui oleh ya (dari yavattavat,
“sebanyak”). Bilangan bulat yang diketahui diawali oleh ru (dari rupa, "nilai mutlak").
Penjumlahan yang tidak diketahui ditunjukkan oleh suku kata awal untuk warna yang berbeda. Dengan
demikian, yang tidak diketahui kedua mungkin dilambangkan dengan ka
(dari kalaka, "hitam"), dan 8xy +
- 7
mungkin muncul sebagai
ya ka 8 bha ka 10 ru 7.
Orang Hindu mengakui angka negatif dan irasional, dan mengakui
bahwa kuadrat (memiliki jawaban nyata) memiliki dua akar formal. Mereka
menyatukan solusi aljabar persamaan kuadrat dengan metode yang lazim untuk
menyelesaikan kuadrat. Metode ini sekarang sering disebut sebagai metode Hindu.
Bhaskara memberikan dua identitas yang luar biasa
yang kadang-kadang digunakan dalam teks aljabar untuk menemukan
akar kuadrat dari binomial surd. Identitas ini juga ditemukan dalam Buku
X Elemen Euclid, tetapi disajikan dalam bahasa yang sulit untuk dipahami.
Orang-orang Hindu menunjukkan kemampuan luar biasa dalam analisis
tak tentu dan mungkin orang pertama yang merancang metode umum dalam cabang
matematika ini. Tidak seperti Diophantus, yang mencari satu solusi rasional
untuk persamaan tak tentu, umat Hindu berusaha untuk menemukan semua solusi
integral yang mungkin. Aryabhata dan Brahmagupta menemukan solusi integral dari
sumbu persamaan tak tentu linier ax + by = c, dimana a, b,
c adalah bilangan bulat. Persamaan kuadrat tak tentu xy = ax + by + c diselesaikan
dengan metode yang kemudian ditemukan kembali oleh Euler. Karya Brahmagupta dan
Bhaskara yang
disebut persamaan Pell, y2 = ax2 + 1, di mana a adalah bilangan bulat, yang sangat
dihargai oleh beberapa orang. Mereka menunjukkan bagaimana, dari satu solusi x,
y, di mana xy
0, banyak hal lain
yang dapat
ditemukan. Teori lengkap persamaan Pell akhirnya dikerjakan oleh Lagrange pada
1766-1769. Pekerjaan Hindu pada persamaan tak tentu mencapai Eropa Barat
terlambat untuk mengerahkan pengaruh menguntungkan.
3. Geometri dan Trigonometri
Orang-orang Hindu tidak mahir dalam bidang geometri. Demonstrasi
yang kaku tidak biasa, dan perkembangan postulat tidak ada. Geometri mereka sebagian
besar empiris dan umumnya terhubung dengan pengukuran.
Sulvasutra kuno
menunjukkan bahwa umat Hindu awal menerapkan geometri untuk pembangunan altar
dan memanfaatkan relasi Pythagoras. Aturan dilengkapi instruksi untuk menemukan
kotak sama dengan jumlah atau perbedaan dari dua kotak yang diberikan dan kotak
sama dengan persegi panjang yang diberikan. Solusi masalah lingkaran-kuadrat
muncul yang setara dengan mengambil d = (2 +
)s/3 dan
s = I3d/15, di mana d adalah diameter lingkaran dan s adalah sisi
dari persegi yang sama. Di sana juga muncul ekspresi
yang menarik karena semua pecahan adalah pecahan
satuan dan ekspresinya benar ke lima tempat desimal.
Baik Brahmagupta dan Mahavira tidak hanya
memberikan Heron’s formula (Rumus Bangau) untuk luas
segitiga dalam hal tiga sisi, tetapi juga ekstensi yang luar biasa,
K = [(s-a)(s-b)(s-c)(s-d)]1/2
untuk bidang segiempat siklik yang memiliki sisi a, b, c, d dan
semiperimeter s. Tampaknya komentator kemudian gagal menyadari keterbatasan
pada segi empat. Rumus untuk kasus umum adalah
K2 = (s-a)(s-b)(s-c)(s-d) – abcd
cos2
di mana A dan C adalah sepasang sudut puncak (vertex) yang berlawanan dari segiempat.
Yang paling luar biasa dalam geometri Hindu,
dan unik dalam keunggulannya, adalah teorema Brahmagupta bahwa diagonal m dan n
dari segi empat siklik memiliki sisi berurutan a, b, c, d diberikan oleh
dan bahwa jika A, B, C adalah bilangan bulat positif, sehingga a2 + b2 = c2 dan
A2 + B2 = C2,
maka segiempat siklik yang memiliki sisi berurutan aC, cB, bC, cA (disebut trapesium Brahmagupta)
yang memiliki
area rasional dan diagonal, dan diagonal saling tegak lurus satu sama lain.
Brahmagupta mengetahui teorema Ptolemy tentang segi empat siklik.
Banyak ketidakakuratan muncul dalam formula mensuration
Hindu. Dengan demikian, Aryabhata memberikan volume piramida sebagai setengah
produk dasar dan ketinggian, dan volume bola sebagai
. Orang
Hindu memberikan beberapa nilai akurat untuk
, tetapi juga
sering menggunakan
= 3 dan
=
.
Sebagian besar siswa geometri sekolah menengah
telah melihat bukti pembedahan Bhaskara tentang teorema Pythagoras, di mana
persegi pada sisi miring dipotong, seperti ditunjukkan pada gambar di atas,
menjadi empat segitiga, masing-masing kongruen dengan segitiga yang diberikan,
ditambah persegi dengan sisi sama dengan perbedaan kaki dari segitiga yang
diberikan. Potongan mudah diatur ulang untuk
memberikan jumlah kotak pada kedua kaki. Bhaskara menggambar sosok itu dan
tidak memberikan penjelasan lebih lanjut selain kata “Lihatlah!” Aljabar kecil,
bagaimanapun, memberikan bukti; karena jika c adalah sisi miring dan a dan b
adalah kaki dari segitiga,
Bukti pembedahan ini ditemukan jauh lebih awal di Cina. Bhaskara
juga memberikan demonstrasi kedua dari teorema Pythagoras dengan menggambar
ketinggian pada sisi miring. Dari segitiga siku-siku yang serupa pada gambar di bawah ini, kita miliki
cm = b2
, cn = a2
dengan menambahkan,
kita dapatkan
a2 + b2 =
c(m + n) = c2.
Bukti ini ditemukan kembali oleh John Wallis pada abad ketujuh
belas.
Orang Hindu, seperti halnya orang Yunani, menganggap trigonometri
sebagai alat untuk astronomi mereka. Mereka menggunakan tingkat, menit, dan pembagian kedua
yang kita kenal dan membuat tabel sinus. (Yaitu, mereka membangun tabel
setengah akord, dan bukan tabel akord seperti yang dilakukan oleh orang Yunani). Orang
Hindu menggunakan
padanan sinus, cosinus, dan versed sines (versin
A = 1 - cos A). Mereka menghitung sinus setengah dari sudut dengan hubungan versin
2A = 2 sin2 A. Dalam astronomi mereka, mereka
memecahkan bidang dan segitiga bola. Astronomi itu sendiri berkualitas buruk
dan menunjukkan ketidakmampuan dalam mengamati, mengumpulkan, dan menyusun
fakta, dan mendorong hukum. Trigonometri mereka dapat digambarkan sebagai
aritmatika daripada geometri.
4. Perbedaan Antara Matematika Yunani dan Matematika Hindu
Ada banyak perbedaan antara matematika Yunani
dan Hindu. Pertama-tama, orang-orang Hindu yang bekerja di bidang matematika
menganggap diri mereka sebagai astronom; dengan demikian, matematika Hindu
sebagian besar tetap menjadi hamba untuk astronomi. Dengan Yunani, matematika
mencapai eksistensi independen dan dipelajari untuk kepentingannya sendiri.
Juga, sebagai hasil dari sistem kasta, matematika di India dikembangkan hampir
seluruhnya oleh para imam; di Yunani, matematika terbuka untuk siapa saja yang
peduli untuk mempelajari subjek. Sekali lagi, orang-orang Hindu adalah komputer
yang sempurna tetapi geometer yang biasa-biasa saja; orang-orang Yunani unggul
dalam geometri tetapi sedikit peduli untuk pekerjaan komputasi. Bahkan
trigonometri Hindu, yang berjasa, bersifat aritmatika; Trigonometri Yunani
bersifat geometris. Orang-orang Hindu menulis dalam syair dan sering kali
mengenakan pakaian mereka dalam bahasa yang tidak jelas dan mistik; orang-orang
Yunani memperjuangkan kejelasan dan logika dalam presentasi. Matematika Hindu
sebagian besar bersifat empiris, dengan bukti atau derivasi yang jarang
ditawarkan; karakteristik luar biasa dari matematika Yunani adalah desakannya
pada demonstrasi yang ketat; Matematika Hindu memiliki kualitas yang sangat
tidak merata, matematika yang baik dan buruk sering muncul berdampingan;
orang-orang Yunani tampaknya memiliki naluri yang membuat mereka membedakan
yang baik dari kualitas yang buruk dan untuk melestarikan yang baik sambil
meninggalkan yang kedua. Seperti yang ditulis oleh penulis Muslim al-Biruni
dalam bukunya yang terkenal di India, berbeda dengan matematika Yunani
berkualitas tinggi yang seragam, matematika Hindu adalah “campuran kerang
mutiara dan kurma asam ... dari kristal mahal dan kerikil biasa”.
Beberapa perbedaan antara matematika Yunani
dan Hindu diabadikan hari ini dalam perbedaan antara banyak buku pelajaran
geometri dan aljabar dasar kita, karena yang pertama deduktif dan yang terakhir
sering merupakan kumpulan aturan.
B.
Matematika Arab
1. Sejarah Matematika Arab
Perkembangan matematika
Arab sesudah
pertengahan abad kedelapan sangat
mengagumkan dan mempunyai peranan serta kontribusi yang besar sekali terhadap
perkembangan sejarah matematika.pada
abad pertama perkembangan agama islam, bangsa Arab masih jauh tertinggal dalam
bidang ilmu pengetahuan dibandingkan dengan negeri-negeri sekelilingnya,
seperti India, Yunani dan Romawi.
Pada abad permulaan ini nampaknya bangsa Arab
masih sibuk dengan pertentangan –pertentangan dalam negeri sendiri. Tetapi
mulai pada tahun 750 yaitu pada permulaan pemerintahan khalifah-khalifah Bani
Abbas keadaan berbalik dengan tajam dimana mulai pada saat itu bangsa Arab
bangkit mengejar ketinggalannya dalam bidang ilmu pengetahuan. Mereka mulai menggali ilmu pengetahuan baik
yang terkandung dalam bumi Arab sendiri, maupun yang berasal dari luar
Arab.
Bangsa Arab mulai mempelajari astronomi, konsep-konsep filsafat, ilmu
kedokteran, matematika dan ilmu pengetahuan lainnya dari Yunani, India,
Mesir, Babylonia, dan lain-lain. Secara berangsur-angsur karya ilmu pengetahuan
klasik Yunani dan India dibawa ke Baghdad, ibu kota kekhalifahan Arab Timur,
kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Arab. Hal ini sangat menguntungkan sekali
bagi perkembangan sejarah matematika, karena hamper seluruh karya ahli
matematka Yunani kuno tidak dapat ditemukan lagi, yang tinggal sekarang
hanyalah terjemahan dari karya-karya ini dalam bahasa Arab.
Selama masa pemerintahan khalifah-khalifah Bani Abbas terutama
dalam masa tiga khalifa terkenal, Al
Mansur, Harun Ar Rasyid, dan Al-Makmun. Kota Baghdad menjadi pusat
pengembangan matematika dan ilmu pengetahuan alam lainnya menggantikan
kedudukan kota Alexandria pada zaman
Yunani. Selama pemerintahan ketiga khalifah ini hampir seluruh karya-karya matamatician yang berasal dari luar
Arab, seperti India, Yunani, dan Messopotamia. Kemudian atas perintah khalifah
diterjemahkan kedalam bahasa
Arab.
Pada masa pemerintahan khlifah Al Mansyur
(754-779), karya-karya ahli matematika Hindu Brahmagupta dibawa ke Baghdad.
Kemudian khalifah Al-Mansyur memerintahkan untuk menterjemahkannya kedalam
bahasa Arab. Diantara karya Brahmagupta adalah buku yang berisi tentang astronomi, matematika dan
ilmu pengetahuan alam lainnya. Berdasarkan karya inilah yang kemudian hari
menjadi bagian dari matematika arab. Tidak lama setelah diterjemahkannya karya
Brahmagupta ini(775), maka pada tahun 780 karya ahli matematika Yunani Ptelemy
tentang astrologi yang berjudul “Tetrabiblos”
diterjemahkan pula kedalam bahasa Arab.
Dalam masa pemerintahan khalifah Harun Arrasyid
(786-808) dilanjutkan lagi menterjemahkan karya-karya Yunani kuno, diantaranya
termasuk karya Euclid, Element. Khalifah
Harun Ar Rasyid ini adalah seorang
khalifah yang sangat mendukung usaha memajukan perkembangan ilmu pengetahuan
dan kebudayaan bangsa Arab. Penterjemahan karya-karya yunani kuno ini
berlangsung terus sampai dengan masa pemerintahan khalifah Al-makmun (809-833).
Khalifah Al-Makmun, putra dari khalifah Harun
Ar Rasyid adalah khalifah yang juga sangat mencintai kepada ilmu pengetahuan
untuk kejayaan bangsanya, disamping dia sendiri adalah seorang astronomer.
Selama pemerintahan khalifah Al-Makmun ini dilanjutkan lagi penterjemahan
selanjutnya buku elements Euclid, serta
diterjemahkan pula karya Ptolemy
“Almagest”, sebagai
imbalan perdamaian dengan Kaisar Romawi Timur. Disamping memerintahkan untuk menterjemahkan
karya-karya Yunani dan karya-karya asing lainnya. Khlaifah Al-Makmun juga
memerintahkan untuk melakukan revisi terhadap terjemahan-terjemahan yang sudah
dilakukan sebelumnya.
Pada permulaannya, penterjemahan buku-buku
asing kedalam bahasa Arab mengalami beberapa kesulitan, karena penterjemah
disamping harus menguasai bahasa Arab dan bahasa asli buku yang diterjemahkan,
harus pula mempunyai pengetahuan yang cukup tentang materi isi buku yang
diterjemahkan itu. Oleh sebab itu penterjemahan suatu buku sering dilakukan
berulang-ulang dan terkadang alih bahasa itu tidak dilakukan oleh bangsa Arab
sendiri, tetapi dibantu oleh ahli-ahli yang didatangkan dari luar Arab.
Khalifah Al-Makmun, membangun “Baitul HIkmah”
tau dikenal juga dengan darul hikmah di kota Baghdad. Tempat ini berupa perpustakaan dan tempat observasi yang
sebanding dengan museum pada zaman
Alexandria. Staf pengajar di Bait al-hikmah ini yaitu sarjana-sarjana bangsa
Arab dan sarjana dari luar Arab, seperti dari Persia (Iran), Syria, dan
Messopotamia, termasuk sarjana-sarjana dari Yahudi dan Nasrani yang diundang
oleh khalifah ke Baghdad. Salah seorang sarjana Islam terkenal yang mengajar di
Bait al-hikmah adalah Al Khawarizmi, yang namanya kemudian terkenal di Eropa
Barat lewat karya-karyanya dalam bidang matematika dan astronomi.
Pada abad kesembilan hingga abad tiga belas
merupakan zaman puncak masa emasnya
perkembangan matematika bangsa Arab. Selang periode tersebut semua ilmu
pengetahuan kuno baik dari Yunani dan negeri-negeri lainnya telah diterjemahkan
dan di filing di Arab. Sehingga Arab bisa menjadi pustaka
ilmu pengetahuan kala itu. Peran bangsa arab jika di telaah dalam
perkembangan sejarah matematika tidak
hanya sebagai compiler dan penyebar ilmu
kepada bangsa lain. Bangsa arab bahkan berperan serta dalam mengkontribusikan
beberapa penemuan ilmu pengetahuan tersendiri. Selain hanya mengalih bahasakan
serta memberi penjelasan terhadap matematika Yunani, ahli
matematika arab juga memiliki karya karya otentik original mereka
sendiri.
George
Scheder dalam Wikipedia (2016) menyatakan bahwa Bangsa Semit merupakan bangsa
yang pertama kali yang menggunakan huruf alfabhet
yang kemudian dia kembangkan oleh bangsa Arab kedalam huruf abjad Arab Mereka
membakukan angka dengan abjad arab ini. Demikian juga halnya mcngenai huruf
abjad pada zaman Rasul saw. Pada abad pertama Hijriyah para ilmuwan muslim
menggunakan huruf-huruf abjad dalam menuliskan karangan-karangan mcreka. Setiap
huruf mempunyai angka khusus untuk menunjukkannya.Huruf alif melambangkan angka
20, huruf lam melambangkan angka 30 dan scterusnya. Dalam hisab allumal
(penggunaan huruf abjad sesuai dengan nilai angkanya) digunakan oleh bangsa
Arab dalam masa yang panjang dalam bcrbagai ilmu dan urusan
perdagangan.Pengaruh hitungan ini tampak pada tabel astronomi dan hitungan
bcrat bcrbagai metal.Sebagai contoh, dalam buku Al-Qanum al-Mas’udi oleh Abu
ar-Rihan al- Biruni (362-440 H) banyak menggunakan metode allumal. Karena itu
jelas bahwa para ilmuwan muslim masih menggunakan metode hisab al-jumal setelah
munculnya angka- angka India-Arab yang digunakan sampai ke masa kita sekarang.
Pengenalan angka- angka India-Arab serta perluasan penggunaannya di dunia Arab
dan Islam adalah berkat jasa ilmuwan terkenal, Muhammad bin Musa al-Khawarizmi
(164-235 H), yang menulis buku tentang angka-angka India-Arab. Dengan demikian,
bentuk-bentuk dari angka- angka India-Arab mulai menempati huruf-huruf abjad
(Himawan, A, 2013).
2. Tokoh Matematika Arab
a.
Al-Khawarizmi
Aljabar
yang sesungguhnya diperkenalkan oleh Mohammad Ibn Musa al-Khawarizmi pada
sekitar abad ke-8. Al-Khawarizmi lahir pada tahun 800 M dan meniggal dunia
kurang lebih pada tahun 847 M.35 Keluarganya memberikan nama al-Khawarizmi,
sebab ia dilahirkan di daerah Khawarizm atau Khorezm, yakni sebuah daerah yang
terletak di antara delta sungai Amu Dar‟ya dan Laut Aral di Asia Tengah.
Al-Khawarizmi
menggunakan istilah kuadrat bilangan yang belum diketahui jumlahnya ( x2
), akar kuadrat bilangan yang belum diketahui jumlahnya sebanyak suatu bilangan
(bx), dan suatu bilangan yang berkedudukan sebagai konstanta dalam persamaan
aljabarnya (c). Istilah aljabar sendiri
diambil dari judul buku yang ditulisnya di Baghdad pada sekitar tahun 825 M,
yakni Hisab al-Jabr wa’I-Muqabalah.
Dalam bukunya, al-Khawarizmi mendefinisikan jabr
sebagai transposisi dari satu sisi sebuah persamaan ke sisi yang lain untuk
menyeimbangkan persamaan dengan menambahkan bilangan dengan kuantitas yang sama
pada kedua sisi persamaan. Misalnya mentransformasikan x2 – 12x =
40x – 4x2 menjadi 5x2 –
12x = 40x. Sedangkan muqabalah
diartikan sebagai simplifikasi dari bentuk persamaan aljabar yang dihasilkan.
Misalnya
yakni mereduksi 50 + 3x + x2 = 29 + 10x menjadi 21 + x2 =
7x.
Selain
aljabar, karya Al-Khawarizmi yang terkenal adalah aritmatika yang
memperkenalkan sistem numerasi Hindu. Selain itu, Al-Khawarizmi memberikan
penjelasan tentang tentang
hukum-hukum yang berlaku dalam algorisma Hindu dan proses komputasi yang
dikenal dengan “casting out 9’s” yang digunakan
untuk memeriksa hasil-hasil komputasi aritmatika, serta hukum-hukum “false position” dan “double false position”,
dimana proses aljabar tertentu
dapat diselesaikan secara aljabar.
b. Omar
Khayyam
Khayyam dalam bahasa Arab berarti
pembuat tenda, nama tersebut disematkan pada Omar Khayyam sebab ia berasal dari
keluarga yang berprofesi sebagai pembuat tenda. Omar Khayyam merupakan seorang
ahli matematika, astronomer, dan filusuf. Namun kemampuannya dalam bersyair
membuat Omar Khayyam juga dikenal sebagai seorang penyair dengan salah satu
karyanya yang termasyhur berjudul Rubaiyat. Omar Khayyam lahir pada tahun 1048
M di kota Naishapur Persia (sekarang: Iran),51 kota dimana ia juga menutup
usianya pada tahun 1123.
Ia memiliki nama lengkap Ghiyat
al-Din Abu‟l-Fath Omar ibn Ibrahim al-Nisaburi al-Khayyami. Omar Khayyam
dikenal sebagai pemuda yang luar biasa cerdas. Dalam usianya yang belum genap
25 tahun, ia telah mampu menulis banyak buku tentang aritmatika, aljabar, dan
musik.53 O‟Connor dan Robertson menyatakan bahwa Omar Khayyam adalah orang
pertama yang menemukan teori umum dari persamaan berderajat tiga. Omar Khayyam
mengembangkan persamaan aljabar polinomial berderajat tiga dan menyatakan bahwa
suatu persamaan berderajat tiga dapat memiliki lebih dari solusi/penyelesaian.
Ia mampu menunjukkan bagaimana sebuah persamaan berderajat tiga memiliki dua
solusi, namun masih gagal menunjukkan persamaan berderajat tiga memiliki tiga
solusi sekaligus.
c. Al-Tusi
Al-Tusi adalah salah satu ilmuwan
matematika yang menemukan konsep persamaan aljabar polinom, yakni Sharaf al-Din
al-Tusi. Dari namanya, dapat diketahui bahwa al-Tusi terlahir di Kota Tus,
Persia.58 Sama halnya dengan Omar Khayyam, al-Tusi juga memusatkan kajian
aljabarnya pada persamaan berderajat tiga berbentuk x3
+ d = bx2. Al-Tusi mengawali konsepnya dengan meletakkan persamaan
berderajat tiga dalam bentuk x2 (b – x) = d .
Suatu penyelesaian persamaan menurutnya
bergantung pada fungsi pada ruas sebelah kirinya (apakah mencapai harga d atau
tidak). Untuk menentukannya, harus dicari terlebih dahulu nilai maksimum dari
fungsi tersebut. Al-Tusi menyatakan bahwa suatu fungsi akan mencapai nilai
maksimumnya ketika nilai x =
(dalam bukunya, al-Tusi tidak
menjelaskan bagaimana ia dapat menemukan nilai x =
). Suatu persamaan yang nilai
x-nya kurang dari D, dapat dipastikan tidak memiliki penyelesaian positif. Jika
nilai x-nya sama dengan D, maka fungsi tersebut memiliki satu penyelesaian, dan
suatu fungsi yang didapati nilai x-nya
lebih dari D, fungsi tersebut memiliki dua penyelesaian, dimana satu
penyelesaian berada dalam interval 0 dan satu yang lainnya di antara dan b.
Kekurangan dari apa yang telah dilakukan
al-Tusi adalah ia tidak menuliskan dalam bukunya mengapa syarat-syarat tersebut
dapat ditemukannya. Juga sangat disayangkan lagi, sesudah al-Tusi tidak ada
cendekiawan muslim yang berkeinginan untuk menemukan alasannya hingga saat ini.
Salah satu kemungkinan sebab terjadinya hal tersebut adalah karena al-Tusi sama
sekali tidak menggunakan simbol dalam menuliskan teorinya. Padahal suatu
persamaan polinomial akan sangat sulit dipelajari apabila tidak ada simbol yang
digunakan dalam menyatakan persamaan yang dimaksudkan.
d. Thabit ibn-Qurra
Thabit ibn-Qurra adalah mathematician Arab yang memberikan konstribusinya dalam bidang aljabar, seperti halnya
Al-khawarizmi. Thabit ibn-Qurra bukan hanya ahli dibidang matematika, tetapi
juga menguasai dengan baik bahasa Arab, Yunani, dan Syria. Dia membuka sekolah untuk para
penterjemah terutama untuk orang Yunani dan orang Syria. Terjemahan Thabit
terhadap karya-karya Appolonius, Archimedes, Euclid, Ptolemy, dan Theodorus
adalah yang dianggab paling baik.
3. Ciri Khas Matematika Arab
a.
Bangsa
Arab mengembangkan konsep nol (0)
Bangsa
Arab telah memperkenalkan angka (nol) sejak awal yang berarti kosong
sebagaimana sabda Nabi saw sebagai berikut: “Tuhanmu itu adalah Tuhan yang
hidup lagi pemurah. Ia malu, bilamana hamba- Nya mengangkat tangannya ke langit
dan Ia menjawabnya dengan kosong (nol).” (HR Abu Daud dalam as-Sunnan). Tidak
diragukanlagi bahwa bangsa ArablH yang telah mengembangkan konsep nol sehingga
memberikan kemudahan tidak terbatas bagi kita dalam proses menghitung. Para
ahli matematika memandang nol sebagai penemuan paling besar yang dikenal umat
manusia. ketika umat Islam mengembangkan angka kosong (nol), mereka
menggambarkannya dengan lingkaran di mana titik menjadi pusatnya.
4. Penggunaan Matematika Arab pada Masa Kini
a. Umat Islam memilih titik untuk menggambarkan nol karena titik
mempunyai urgensi penting dalam penulisan Arab, yang mereka pandang sebagai
pembeda dan pengontrol antara huruf-huruf. Misalnya, bila Anda meletakkan titik
di atas huruf ba, maka ia menjadi nun. Bila titik itu berada di bawah, maka ia
adalah ba’. Bila di atasnya ada dua titik, maka ia adalah ta’, bila dibawahnya
ada dua titik, maka ia adalah ya’, dan begitulah seterusnya. Dan sini, bangsa
Arab menggunakan titik untuk menggambarkan nol dengan angka India-Arab. Lalu
mereka memberinya fungsi yang dimilikinya dengan huruf-huruf pengontrol dan
pembeda. Misalnya, bila Anda meletakkan titik dari kanan, ia menjadi angka
sepuluh. Bila dari kanan angka lima Anda letakkan dua buah titik, maka ia 7
menjadi lima ratus. Begitulah, jelasnya umat Islam menggunakan nol dalam proses
penghitungan dan penulisan bahasa (Ainul., 2015).
b. Cara penulisan angka-angka di kalangan orang india bagi ilmuwan
muslim terlihat mudah dan jelas serta tidak mengandung kerumitan apapun. Oleh
karena itu, para ilmuwan muslim mengambil gagasan tentang angka-angka dari
orang India tersebut, tetapi dalam pengcmbangannya ilmuwan muslim mengambil
arah yang berbcda dari arah yang diambil oleh orang India. Angka-angka ini
dinamakan angka India-Arab karena gagasan awalnya berasal dari India kemudian
dikembangkan oleh orang arab menjadi angka 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9 (Meliana.
D., 2011). Sekalipun pada awalnya angka-angka tersebut berasal dari India-Arab,
tetapi bangsa Arablah yang telah memasukkan didalamnya berbagai penyesuaian dan
penyederhanaan sehingga bisa terkenal di dunia hingga sekarang.
DAFTAR PUSTAKA
Eves, Howard. 1953. An Introduction to The History of Mathematics. United
States : Saunders College Publishing.
Yuanda, M. (2015).
Marthamatika. Diakses pada tanggal 8 April 2019, dari http://www.marthamatika.com/2015/04/perkembangan-matematika-arab-sampai-9.html
Yuanda, M. (2015). Marthamatika. Diakses pada
tanggal 8 April 2019, dari http://www.marthamatika.com/2015/04/perkembangan-matematika-arab-sesudah-abad-9.html
Yuanda, M. (2015). Marthamatika. Diakses pada
tanggal 8 April 2019, dari http://www.marthamatika.com/2015/07/kilas-matematikawan-dari-negeri-arab.html
Pramono, N.W.
(2018). PERAN MATEMATIKA DALAM MEMBANGUN PERADABAN ISLAM.KAJIAN TEORITIS, 7-10. Diakses pada tanggal 8 April 2019, dari http://journal.iain-ternate.ac.id/index.php/altadabbur/article/view/67/61 pada t
Subscribe to:
Posts (Atom)